I. Pendahuluan
ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu tersendiri, melainkan lebih merupakan
kajian yang interdisipliner. Mata kuliah ini merupakan sumber nilai dan
pedoman bagi penye1enggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa
memantapkan kepribadian, kepekaan sosial, kemampuan hidup bermasyarakat,
pengetahuan tentang pelestarian, pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup, dan mempunyai wawasan tentang perkembangan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni.
ISBD memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang
konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial
budaya. Standar kompetensi yang ingin dicapai adalah agar mahasiswa
dapat menjadi ilmuwan dan profeosional yang berpikir kritis, kreatif,
sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis, memiliki kepekaan dan empati
sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan
mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif.
ISBD diharapkan dapat membekali kepada mahasiswa dalam menghadapi
tantangan sosial budaya di lingkungan sekitarnya dan dalam memberi
kontribusi bagi pemecahan masalah-masalah sosial budaya.
II. Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia adalah mahluk berbudaya. Berbudaya merupakan kelebihan manusia
dibanding mahluk lain. Dengan berbudaya, manusia dapat memenuhi
kebutuhan dan menjawab tantangan hidupnya. Manusia menggunakan akal dan
budinya dalam berbudaya. Kebudayaan merupakan perangkat yang ampuh dalam
sejarah kehidupan manusia yang dapat berkembang dan dikembangkan
melalui sikap-sikap budaya yang mampu mendukungnya.
Banyak pengertian tentang budaya atau kebudayaan. Kroeber dan Kluckholn
(1952) menginventarisasi lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan,
namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip.
Konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan berbagai mahluk hidup.
Isu yang sangat penting adalah kemampuan belajar. Lebah melakukan
aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam
bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus
dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan
lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu
untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang
berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di
sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu
perubahan dalam gen. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak
fleksibel.
Berbeda dengan binatang, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal
ini terjadi karena kemampuan dari manusia untuk belajar dan beradaptasi
dengan apa yang telah dipelajarinya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia
mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi
dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya.
Kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar
hidupnya. Manusia berbeda dengan binatang, bukan saja dalam banyaknya
kebutuhan, namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebudayaanlah yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif diimbangi oleh
kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan
menguasai objek-objek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar
dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan cara berfikir simbolik.
Terlebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang
di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting,
perasaan, dengan pikiran, kemauan dan hubungan yang bermakna dengan alam
sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian.
Manusia adalah mahluk yang berbudaya. Berbudaya merupakan ciri khas
kehidupan manusia yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia
dilahirkan dalam suatu budaya tertentu yang mempengaruhi kepribadiannya.
Pada umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang mendasari sikap
dan perilakunya.
Kebudayaan merupakan induk dari berbagai macam pranata yang dimiliki
manusia dalam hidup bermasyarakat. Etika merupakan bagian dari
kompleksitas unsur-unsur kebudayaan. Ukuran etis dan tidak etis
merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan. Manusia membutuhkan
kebudayaan, yang didalamnya terdapat unsur etika, untuk bisa menjaga
kelangsungan hidup. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang menjaga
tata aturan hidup.
Etika dapat diciptakan, tetapi masyarakat yang beretika dan berbudaya
hanya dapat diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang
membutuhkan dukungan-dukungan, seperti dukungan politik, kebijakan,
kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan, serta pelaksanaan
secara konsekuen. Selain itu dibutuhkan pula ruang akomodasi, baik lokal
maupun nasional di mana etika diterapkan, pengawasan, pengamatan, dan
adanya pihak-pihak yang memelihara kehidupan etika. Kesadaran etis bisa
tumbuh karena disertai akomodasi.
Berbudaya, selain didasarkan pada etika juga terkandung estetika di
dalamnya. Jika etika menyangkut analisis dan penerapan konsep seperti
benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab, estetika membahas
keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa
merasakannya.
Hakikat kodrat manusia itu adalah 1) sebagai individu yang berdiri
sendiri (memiliki cipta, rasa, dan karsa), 2) sebagai makhluk sosial
yang terikat kepada lingkungannya (lingkungan sosial, ekonomi, politik,
budaya dan alam), dan 3) sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Perbuatan-perbuatan baik manusia haruslah sejalan dan sesuai dengan
hakikat kodratinya. Manusia dipandang mulia atau terhina tidak
berdasarkan aspek fisiologisnya. Aspek fisik bukanlah tolak ukur bagi
derajat kemanusiaannya.
Hakikat kodrati manusia tersebut mencerminkan kelebihannya dibanding
mahluk lain. Manusia adalah makhluk berpikir yang bijaksana (homo
sapiens), manusia sebagai pembuat alat karena sadar keterbatasan
inderanya sehingga memerlukan instrumen (homo faber), manusia mampu
berbicara (homo languens), manusia dapat bermasyarakat (homo socious)
dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu mengadakan usaha (homo
economicus), serta manusia berkepercayaan dan beragama (homo religious),
sedangkan hewan memiliki daya pikir terbatas dan benda mati cenderung
tidak memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam.
Keunggulan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab berkat
ketekunannya memantau berbagai gejala dan peristiwa alam. Manusia tidak
lagi menemukan kenyataan sebagai sesuatu yang selesai, melainkan sebagai
peluang yang membuka berbagai kemungkinan. Setiap kenyataan
mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi manusia terhadap
kenyataan yang ditemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan itu
merupakan kemampuannya yang paling mendasari perkembangan
pengetahuannya.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki dua macam sistem
budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem
budaya nasional dan sistem budaya etnik lokal. Sistem budaya nasional
adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses
pembentukannya. Sistem ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa
Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal.
Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional
bersifat prospektif, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang
Maha Esa; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan
yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu;
penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas
dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat;
serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku
bangsanya sendiri.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan
nilai-nilai lain dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam
berbagai sistem budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada
dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri
bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat
suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali
berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru,
seperti dalam bahasa, seni, tata masyarakat, dan teknologi, yang
kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya.
III. Manusia Sebagai Individu dan Mahluk Sosial
Manusia sebagai individu dengan kepribadian khasnya berada di
tengah-tengah kelompok individu lain yang sekaligus mematangkannya untuk
menjadi pribadi. Proses dari individu untuk menjadi pribadi tidak hanya
didukung dan dihambat oleh dirinya, melainkan juga oleh kelompok di
sekitarnya. Dalam proses untuk menjadi pribadi, individu dituntut mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada, baik lingkungan
fisik dan maupun non fisik (sosial budaya).
Manusia sejak dilahirkan adalah sebagai makhluk sosial ditengah
keluarganya. Manusia tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang
lain. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Sebagai individu, manusia dituntut untuk dapat
mengenal serta memahami tanggung jawabnya bagi diri sendiri dan
masyarakat.
Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok bukanlah sekedar naluri
atau keperluan yang diwariskan secara biologis semata, melainkan dalam
kenyataannya manusia berkumpul sampai batas-batas tertentu juga
menunjukkan adanya suatu ikatan sosial. Mereka berkumpul dan saling
berinteraksi satu sama lain.
Interaksi antarmanusia merupakan suatu kebutuhan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup. Individu akan membutuhkan individu lain, karena seorang
individu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan individu lain.
Kehidupan berkelompok merupakan kebutuhan setiap individu, sehingga
timbullah kelompok-kelompok sosial dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhannya tersebut. Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau
kesatuan manusia yang hidup bersama. Suatu kelompok sosial cenderung
untuk tidak menjadi kelompok yang statis, tetapi dinamis, selalu
berkembang dan mengalami perubahan-perubahan baik dalam aktivitas maupun
bentuknya.
Menurut Gillin dan Gillin, interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara orang
perorangan, kelompok-kelompok manusia, maupun orang perorangan dengan
kelompok manusia. Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya
komunikasi, jadi komunikasi di sini sangatlah penting artinya.
Komunikasi berarti seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang
lain baik berwujud pembicaraan, gerak, maupun sikap.
Interaksi sosial merupakan dasar dari proses sosial. Pengertian ini
menunjukkan pada hubungan-hubungan yang dinamis. Interaksi sosial juga
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi
sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Secara umum, ada dua bentuk interaksi sosial dalam suatu komunitas
masyarakat, yaitu: (1) interaksi asosiatif, dan (2) interaksi
disasosiatif. Dalam perspektif asosiatif, bentuk-bentuk interaksi sosial
yang berlangsung dalam suatu komunitas atau masyarakat yang bisa
diklasifikasikan kepada tiga jenis interaksi sosial, yaitu: (1)
kerjasama, (2) akomodasi, dan (3) asimilasi.
Dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat terdapat saling
ketergantungan antara individu yang satu dengan yang lain. Setiap
individu berkepentingan dengan individu-individu lain dalam kelompoknya
sendiri maupun di luar kelompoknya.
Rasa berkepentingan tersalurkan melalui proses sosialisasi dan
interaksi sosial. Proses sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran
sejak dini dengan tujuan untuk membentuk kepribadiannya. Interaksi
sosial terjadi ketika seorang anak mulai bergaul dengan orang lain, baik
dalam lingkungan keluarganya sendiri maupun dengan orang lain atau
masyarakat di luar lingkungan keluarga.
Dalam interaksi sosial, manusia mengemban nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku sebagai penuntun atau pedoman dalam kehidupannya di
tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai adalah sesuatu yang ideal atau das
sollen yaitu sesuatu yang seharusnya, bukan das sein atau sesuatu yang
senyatanya terjadi. Namun dalam kenyataannya, ada orang atau sekelompok
orang yang dengan sengaja dan sadar melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan
seperti inilah yang akan menimbulkan kesenjangan dan pada akhirnya akan
menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat. Apabila masalah-masalah
itu menjadi berlarut-larut, maka gejala atau kenyataan itu akan menjadi
masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang seringkali terjadi karena
dipicu oleh adanya benturan antara kepentingan umum dan kepentingan
individu ataupun kelompok.
Di Indonesia yang menganut dasar negara Pancasila terdapat prinsip
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Di satu
pihak kepentingan individu tidak boleh merugikan kepentingan umum, namun
di lain pihak kepentingan individu juga tidak boleh terlalu terkalahkan
oleh kepentingan umum.
Prinsip keseimbangan pada hakikatnya merupakan implikasi langsung
dari kebenaran bahwa manusia diciptakan sederajat. Prinsip keseimbangan
merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa eksistensi manusia
sekaligus sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Hak yang
melekat pada seseorang bukan hanya mengandaikan bahwa orang lain wajib
menghormatinya, tetapi juga sekaligus ia wajib menghormati hak yang sama
yang melekat pada orang lain. Demikian juga antara kepentingan individu
dengan kepentingan umum.
IV. Manusia dan Peradaban
Istilah peradaban dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian
terhadap perkembangan kebudayaan. Peradaban adalah kebudayaan yang
bernilai tinggi. Perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud
unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur,
maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki
peradaban yang tinggi. Menurut Azyumardi Azra (2007), peradaban mencakup
berbagai aspek kehidupan manusia, sejak dari pandangan hidup,
tatanilai, sosial budaya, politik, kesenian, ilmu pengetahuan, sains,
teknologi, dan banyak lagi.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk beradab dan berbudaya yang
tidak bisa hidup di luar adab dan budaya tertentu. Manusia beradab dan
berbudaya yang hidup dalam suatu masyarakat beradab bukanlah sesuatu
yang alamiah, melainkan diciptakan melalui berbagai upaya yang mendukung
terciptanya manusia beradab dan masyarakat adab.
Di Indonesia, sila kelima Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab
memberi pengakuan bahwa manusia yang hidup di Indonesia diperlakukan
secara adil dan beradab oleh penyelenggara negara. Kemanusiaan yang adil
dan beradab mengandung nilai bahwa suatu tindakan yang berhubungan
dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat didasarkan atas sikap
moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat manusia, serta
sejalan dengan norma-norma. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga
mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap budaya dan kebudayaan
yang dikembangkan bangsa yang beragam etnik dan golongan.
Sila kelima Pancasila tersebut secara tegas mencita-citakan suatu
masyarakat Indonesia yang beradab. Masyarakat yang beradab adalah
masyarakat yang ditandai dengan ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan
kedamaian sebagai makna hakiki manusia beradab. Konsep masyarakat adab
dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Dari sejarah kita belajar bahwa secara nyata peradaban manusia telah
berubah dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan kelebihan manusia
dibanding makhluk lain. Burung membuat sarangnya tetap sama selama
berabad-abad, namun manusia telah beranjak dari gua-gua, rumah di atas
pokok kayu, gubuk, rumah adat sampai dengan pencakar langit pada saat
ini. Hal ini semata-mata disebabkan manusia mempunyai akal budi yang
merupakan kelebihan dari makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan akal budi manusia selalu berubah dari waktu ke-waktu
dalam rangka melakukan perbaikan nilai hidup ataupun kualitas hidup.
Dari kenyataan ini kita bisa belajar bahwa pada hakekatnya manusia tidak
anti perubahan, walaupun perubahan bisa dilakukan secara sadar ataupun
karena terpaksa berubah oleh karena suatu kondisi tertentu.
Perubahan peradaban manusia mengalami percepatan yang tidak pernah
terjadi sebelumnya sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad
ke-15. Pada abad ke 20 yang disebutkan oleh Alvin Toffler sebagai awal
dari Gelombang Ke Tiga (Abad Informasi), kemajuan teknologi informasi
dan telekomunikasi menjadi pendukung utama perubahan yang sangat cepat.
Perubahan yang terjadi di suatu negara bisa mengakibatkan pengaruh
berantai secara global terhadap negara lain.
Globalisasi merupakan fenomena khusus dalam peradaban manusia yang
bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi. Globalisasi menyentuh seluruh
aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan
permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya
memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Globalisasi
sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara
mendasar.
Di Indonesia, problematika peradaban yang timbul akibat globalisasi
diantaranya dapat dilihat dalam bidang bahasa, kesenian, dan kehidupan
sosial. Akibat perkembangan teknologi yang begitu pesat, terjadi
transkultur dalam kesenian tradisional Indonesia. Peristiwa
transkultural akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian di
Indonesia. Padahal, kesenian tradisional merupakan bagian dari khasanah
kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Dengan teknologi
informasi yang semakin canggih, masyarakat disuguhi banyak alternatif
tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih
menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan
televisi, masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang
bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi. Hal ini dapat
menyebabkan terpinggirkannya kesenian asli Indonesia.
Akibat globalisasi, masyarakat banyak mengalami anomi, sehingga
terjadi kompromisme sosial terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap
melanggar norma tunggal masyarakat. Selain itu juga terjadinya
disorientasi atau alienasi, keterasingan pada diri sendiri atau pada
perilaku sendiri, akibat pertemuan budaya-budaya yang tidak sepenuhnya
terintegrasi dalam kepribadian manusia sendiri.
Problematika peradaban yang penting lainnya adalah adanya kemungkinan
punahnya suatu bahasa di daerah tertentu disebabkan penutur bahasanya
telah terkontaminasi oleh pengaruh globalisasi. Percampuran bahasa bisa
mengancam eksistensi bahasa di suatu daerah.
V. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan
dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas
utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di
waktu-waktu mendatang (Azyumardi Azra, 2003).
Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi
diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi
di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa
mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik
yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas
yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki
manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama
yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak
asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata
dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang
merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan
mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata.
Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang
berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang
menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa,
kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut
keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan
raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan
Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan
tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi
sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada
pengamatan bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada struktur dalam
sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu atau
sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan
satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di
antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan dengan
kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang
berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial
yang lebih tajam.
Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis,
budaya, agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai
keragaman masyarakat Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama mengakui
pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan
menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan
masyarakat Indonesia pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri
bangsa telah membekali bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara
bangsa Bhinneka Tunggal Ika, membekali hidup bangsa dalam keberagaman,
kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa yang
bersifat mendasar.
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berkesetaraan. Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan” adalah rujukan yang
melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang mengikat warga
negara.
Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan kekuatan besar bagi
kemajuan dan kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara bangsa yang
beragam yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan
menghadirkan kehancuran.
Semangat multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan
saling pengertian merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali
jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat
dan kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar
berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme
terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita
miliki dan kembangkan kemampuan belajar hidup bersama dalam
multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar
hidup bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan
menyelamatkan semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup
bersama yang memadai dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme akan
meredup. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan
tinggi akan menghidupkan dan memfungsionalkan semangat
multikulturalisme.
Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan belajar
hidup bersama di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau
dikembangkan dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya
(cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural
understanding), dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross
culture).
VI. Manusia, Nilai, Moral dan Hukum
Nilai (value) adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa
yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori sehingga
bermakna secara fungsional (Djahiri, 1999).
Nilai merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai
moral), baik atau buruk (nilai etika), serta indah atau jelek (nilai
estetika). Dari sistem nilai kemudian tumbuh norma yang merupakan
patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
Norma-norma yang dihadapi manusia ada yang bercorak moral yaitu
kewajiban moral dan nilai moral, dan ada pula yang bercorak bukan moral
(nilai yang nonmoral) yang sifatnya teknis dan tidak mengandung
pertimbangan-pertimbangan nilai.
Norma-norma moral ada yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma
itu berlaku dan dianggap baik bagi komunitas tertentu pada waktu
tertentu, tetapi pada suatu saat dapat saja berubah, tidak lagi dapat
diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak baik lagi, atau
norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu, tetapi belum
tentu baik bagi komunitas lain.
Moral adalah tuntutan sikap dan perilaku yang diminta oleh norma dan
nilai. Kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti
tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. John Dewey mengatakan
bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila,
sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang
berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau
benar.
Frans Magnis Suseno (1987) mengemukakan bahwa kata moral selalu
mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya
sebagai manusia. Kesadaran moral hanya dimiliki oleh manusia yang
berakal, mempunyai perasaan, dan memiliki kehendak yang bebas (otonomi)
untuk selalu mewujudkan perbuatan baik semata.
Manusia sebagai makhluk individual dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya
akan berhadapan dengan kepentingan manusia lain. Konflik kepentingan
secara alami akan mendorong manusia untuk saling berkompetisi dan saling
mengalahkan di antara sesamanya. Kondisi ini jika tidak terkendali akan
melahirkan kekacauan yang justru akan mengancam eksistensi manusia itu
sendiri.
Untuk mewujudkan keteraturan, mula-mula manusia membentuk tatanan
sosial yang bernama masyarakat. Untuk membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur, maka dibutuhkan pranata pengatur
yang terdiri dari dua hal, yaitu aturan (hukum) dan si pengatur
(kekuasaan). Dari sinilah hukum tercipta, yakni sebagai bagian pranata
pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan. Kedua unsur pranata
pengatur ini berhubungan secara sistemik sehingga tidak bisa
dipisah-pisahkan, keberadaan yang satu meniscayakan keberadaan yang
lain.
Untuk menciptakan keteraturan dibuatlah hukum sebagai alat pengatur,
dan agar hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur, maka
perlu suatu entitas lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan
hukum tersebut sehingga dapat bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya
entitas kekuasaan ini perlu diatur pula dengan hukum untuk menghindari
terjadinya penindasan melalui kesewenang-wenangan ataupun dengan
penyalah gunaan wewenang. Mengenai hubungan hukum dan kekuasaan ini,
terdapat adagium yang populer: “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah
angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.”
Dalam negara hukum, semestinya hukumlah yang pertama-tama dianggap
sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, bukan orang,
“the rule of law, and not of man”. Orang bisa berganti, tetapi hukum
sebagai satu kesatuan sistem diharapkan tetap tegak sebagai acuan dan
sekaligus pegangan bersama. Prinsip inilah yang dinamakan dengan
nomokrasi atau kekuasaan yang dipimpin oleh nilai hukum sebagai
pendamping terhadap konsep demokrasi.
Dalam demokrasi, yang diidealkan adalah kepemimpinan dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat, dan bahkan bersama rakyat. Dalam nomokrasi,
yang diidealkan sebagai pemimpin adalah hukum. Titik temu di antara
keduanya terletak pada prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum, dan
prinsip nomokrasi atau negara hukum yang demokratis. Dalam negara hukum,
hukum haruslah dibangun dan dikembangkan secara demokratis dan
mengikuti logika demokrasi dari bawah. Hukum tidak boleh hanya
diciptakan sendiri oleh para penguasa, dan pelaksanaan serta
penegakannya juga tidak boleh hanya didasarkan atas interpretasi sepihak
oleh mereka yang berkuasa.
VII. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni
Menurut Robert B. Sund (1973: 2), sains merupakan suatu tubuh
pengetahuan (body of knowledge) dan proses penemuan pengetahuan. Dengan
demikian, pada hakekatnya sains merupakan suatu produk dan proses.
Produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum. Proses
sains meliputi cara-cara memperoleh, mengembangkan dan menerapkan
pengetahuan yang mencakup cara kerja, cara berfikir, cara memecahkan
masalah, dan cara bersikap. Sains dirumuskan secara sistematis, terutama
didasarkan atas pengamatan eksperimen dan induksi.
Sebagian ahli mengatakan bahwa teknologi dimulai terlebih dahulu
daripada sains, karena manusia sejak awal menggunakan benda sebagai
alat. Sebagian ahli yang lain beranggapan sains tumbuh terlebih dahulu,
karena benda sebelum digunakan pasti perlu diketahi terlebih dahulu.
Namun demikian cukup dimengerti jika teknologi kemudian dirumuskan
dengan pengertian yang lebar, yaitu alat atau pengetahuan manusia untuk
melakukan adaptasi terhadap lingkungannya atau keberlangsungan hidupnya.
Secara etimologis, teknologi berasal dari kata techne (Yunani)
artinya keahlian dan logia artinya perkataan. Bell (2001) mendefinisikan
teknologi sebagai seperangkat instrumen yang memungkinkan kekuatan
manusia untuk mengubah sumber menjadi kesejahteraan. Heibish (2001)
mendefinisikan teknologi sebagai pengetahuan yang telah
ditransformasikan menjadi produk, proses dan jasa maupun struktur
organisasi.
Pengembangan sains tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan
masyarakat, sedangkan teknologi, merupakan aplikasi sains yang terutama
untuk kegiatan penemuan, berupa alat-alat atau barang-barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pengembangan teknologi selalu
dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi
dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan (Poedjiadi, 1990 ;
Yager, 1992: 4).
Kebutuhan manusia bukan semata melangsungkan hajat hidup, melainkan
juga nilai-nilai etika dan estetika. Dalam konteks ini, seni menjadi
kebutuhan dasar manusia secara kodrati. Seni berpengaruh terhadap
kehidupan manusia.
Manusia tidak hanya dapat menggagas, melainkan juga mengekspresikan
gagasannya. Semua bidang kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial
politik, dan budaya, memerlukan ekspresi Dengan ekspresi, maka terjadi
hubungan antarmanusia.
Dalam ekspresi diri terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian.
Dengan kesenian manusia mengekspresikan gagasan estetik atau pengalaman
estetik. Kesenian merupakan penjelmaan pengalaman estetik untuk
mewujudkan manusia dewasa yang sadar akan arti pentingnya berbudaya agar
tidak kehilangan jati diri dan akal sehat.
Pada dasarnya iptek bersifat netral. Yang menjadikannya bermanfaat
atau merusak adalah manusia yang menguasai dan mengendalikannya, yakni
para pembuat keputusan atau pembuat kebijakan, termasuk ke dalamnya
ilmuwan, teknolog, politisi, pengusaha, dan masyarakat umum. Dengan
demikian, kunci keberhasilan bagi upaya pemanfaatan iptek bagi
kesejahteraan manusia terletak pada pembinaan faktor manusia dalam
mengembangkan dan menerapkan iptek ataupun mengkonsumsi produk-produk
iptek.
Pada masyarakat Indonesia pada umumnya, budaya terhadap Iptek belum
terbukti telah berkembang secara memadai. Hal ini tercermin dari pola
pikir masyarakat yang belum bisa dianggap mempunyai penalaran objektif,
rasional, maju, unggul, dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum
mendukung kegiatan berkreasi, mencipta, dan belajar.
Mekanisme yang menjembatani interaksi antara penyedia sains dan
teknologi dengan kebutuhan pengguna juga belum optimal. Hal ini bisa
dilihat dari belum tertatanya lembaga yang mengolah dan menterjemahkan
hasil pengembangan sains dan teknologi menjadi teknologi yang siap pakai
untuk difungsikan dalam sistem produksi masyarakat. Di samping itu
kebijakan keuangan juga dirasakan belum mendukung pengembangan kemampuan
sains dan teknologi.
Lembaga penelitian dan pengembangan Iptek masih sering diartikan
dengan institusi yang sulit berkembang. Selain itu, kegiatan penelitian
yang dilakukan kurang didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan
eksplisit. Ini menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki
kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan scientifik
sehingga berakibat pada inefisiensi kegiatan penelitian. Dampak lainnya
adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaan riset
dan teknologi, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Ini berarti
pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum mampu menanamkan karakter
budaya bangsa yang memiliki rasa ingin tahu, budaya belajar dan
apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah (Zuhal, 2007). Masalah dan
kendala tersebut secara langsung telah menghambat perkembangan sains dan
teknologi di Indonesia.
VIII. Manusia dan Lingkungan
Lingkungan hidup menurut UU No. 4 tahun 1982 adalah kesatuan ruang yang
terdiri dari benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan
kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya alam banyak
disebabkan oleh manusia. Eksploitasi sumber daya alam yang melebihi
kapasitas pemulihannya menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas,
pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, dan akses terhadap lingkungan
dan sumber daya alam yang tidak seimbang merupakan beberapa faktor
penyebab kelangkaan atau penurunan sumber daya alam.
Perkembangan yang sangat pesat di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
serta pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, mengakibatkan pemborosan
sumber daya alam yang juga mengakibatkan kemerosotan kualitas
lingkungan.
Semua hal tersebut di atas tidak lain sebagai akibat adanya gejala
krisis kemunduran kearifan manusia dalam memperlakukan lingkungan. Oleh
karena itu baik secara lokal maupun global lingkungan hidup harus
menanggung berbagai kemerosotan kualitas sumber daya alam maupun
lingkungan.
Pelestarian lingkungan perlu dilakukan karena kemampuan daya dukung
lingkungan hidup sangat terbatas baik secara kuantitas maupun
kualitasnya. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara sukarela baik
oleh individu maupun kelompok masyarakat yang peduli terhadap
pelestarian lingkungan, dan dilakukan berdasarkan pedoman yang ada yaitu
dengan UndangUndang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PLH). Adapun tujuan dari pedoman PLH adalah agar setiap kegiatan
yang dilakukan oleh engguna lingkungan tidak merusak lingkungan,
melainkan harus berwawasan lingkungan.
Daftar Pustaka
A. Poedjiadi. 1990. “Kecenderungan Pendidikan Sains dan Teknologi Di
masa yang Akan Datang.” Makalah, Lokakarya tentang Reorientasi dan
perubahan Kurikulum Pendidikan Menengah Umum, Jakarta, 17-19 Januari
1990.
Bertens, K. 1999. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiono Kusumohamodjojo. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Burhanudin Salam. 1997. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djoko Santoso. 2008. “Pembudayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam Membangun Bangsa Melalui Budaya Produktif Riil,” Makalah,
disampaikan pada Konvensi Kampus V, Yogyakarta 4-5 Agustus 2008.
Erich Fromm. 1995. Masyarakat yang Sehat, terj. Murtianto T.B. Jakarta: Yayasan Obor.
Haviland, W.A. 1999. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Hogg, M.A. & Abram, D. 1988. Social Identification: A Social
Psychology of Intergroup Relation and Group Processes. London:
Routledge.
Iskandar Alisyahbana. 1980. Teknologi dan Perkembangan. Jakarta : Yayasan Idayu.
James Danandjaja.1988. Antropologi Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie. 2000. “Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda
Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan
Masyarakat Madani,” Makalah, Disampaikan dalam forum Kongres Mahasiswa
Indonesia Sedunia I di Chicago, Amerika Serikat, 28 Oktober 2000.
Kaplan, D & Manners, A. A. 1999. Teori budaya. Terjemah Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
_______________. 1983. Antropologi budaya. Jakarta: Gramedia.
_______________. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Kohlberg, L. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Komaruddin Hidayat. 1998. “Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan
Masyarakat Madani,” Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional dan Temu
Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, 25-26
September 1998.
M. Dawam Rahardjo. 2007. “Strategi Kebudayaan di Era Globalisasi,”
Makalah, disampaikan pada acara Orasi Budaya yang diselenggarakan oleh
Galeri Publik (Institute For Global Justice), di Jakarta, pada tanggal
26 Juli 2007.
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Parsudi Suparlan. 2001. “Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman
Sukubangsa atau Kebudayaan? Makalah, disampaikan dalam Seminar “Menuju
Indonesia Baru”. Perhimpunan Indonesia Baru – Asosiasi Antropologi
Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_______________. 2001. “Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme”. Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_______________. 2002. “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti
dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, No.
6.
_______________. 2002. Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya
Mengatasinya. Temu Tokoh , “Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh
Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa”,
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian
dan Pengembangan Budaya Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
(BKNST) Pontianak Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo. 1999. Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan
Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-Kultural. Jakarta: Pabelan
Jayakarta.
Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Soerjono Soekanto. 1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suseno, Frans Magnis. 1999. Etika Jawa: Sebuah Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suyatno Kartodirdjo. “Revitalisasi Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrwa dalam Rangka Menuju Indonesia Baru”, Makalah, disajikan
dalam Sarasehan Membangun Wawasan Kebangsaan melalui Revitalisasi Budaya
diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran, PII dan
HKMN Suryasumirat, di Surakarta, 5 Agustus 2000.
Syafri Sairin & Pujo Semedi. 1992. Telaah Pengelolaan Keserasian
Sosial dari Luar Negri dan Hasil Penelitian Indonesia, Laporan
Penelitian. Jakarta: Kantor Meneg KLH dan UGM.
Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M. 1994. Theories of Intergroup Relations. London: Praeger.
Usman Pelly. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Kajian
Perubahan Sosial. Terjemah Misbah Zulfa Ellizabet, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
BY :